Hayati, apa yang sebenarnya perlu dihayati?
About Hayati
Hayati. Secara Etimologis memiliki arti Hidupku. Hayat
artinya hidup, sedangkan tambahan -i di belakang membuat artinya menjadi
Hidupku. Tidak sedikit orang di seluruh dunia ini pasti mengalami pertanyaan
tentang Hidup. Apa itu hidup? Untuk apa Hidup? Mengapa aku Hidup? Dan Apa makna
dari Hidup?
Urip iku Urup, begitulah pepatah Jawa yang
pernah saya dengar. Hidup itu Nyala. Entah apa yang nenek moyang kita maksudkan
dari kata tersebut, tapi banyak orang mengasumsikan dan mengimani bahwa artinya
Hidup itu hendaknya memberi manfaat kepada sesama. Lalu bagaimana dengan
Hidupku? Atau bagaimana dengan Hidupmu? Apakah sudah segaris dengan nasehat luhur
itu?
Hayati, kalau diterjemahkah dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia
artinya Hidupku. Seperti makna yang di atas. Tetapi, kalau diterjemahkah dari
Bahasa Indonesia ke bahasa arab itu bywluji atau dalam lidah
Indonesianya Biologi. Satu istilah namun banyak artinya.
Secara Historis, saya memakai term Hayati karena
terpengaruh Novel karya Buya Hamka, tak lain adalah Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck. Hayati, sesosok wanita dengan paras cantik, bersuku adat, pintar,
sederhana, dan berbudi tetapi Cintanya kepada Zainuddin Kandas karena Adat dan
strata sosial. Juga, pada masa itu sering mendengar sholawat yang mengandung
kata Yaa Hayati.
Hayati, secara harafiah adalah ajakan persuasif, untuk
menghayati. Menghayati apapun yang ada dalam diri kita, yang ada di luar diri
kita, lingkungan, yang nampak maupun yang kasat mata.
Berapa lamakah kita sadar dan menghayati gerak gerik dari
setiap aktivitas keseharian kita? Apakah kita sudah benar benar hadir dan ikut
serta di dalamnya ataukah aktivitas kita terjadi begitu saja karena sudah
kebiasaan?
Tengoklah umurmu, hayati betul pasti akan kau rasa bahwa
hidup kian cepat. Ke mana saja diri ini sehingga bisa muncul kata “Nggak kerasa
sudah 25 tahun!”
Tagline Sebutir Debu yang Menempel di Alam Semesta ya memang secara astronomis, kita ini hanyalah debu alam semesta. Atau malah lebih kecil dari itu. Tapi kita juga adalah semesta yang menampung decu debu karena berada ditengah tengan Kosmos, yaitu Makrocosmos dan Microcosmos.
Dan hadirnya Blog ini untuk menuliskan apa yang ku temui
dalam hidup. Entah Pengalaman yang akan diceritakan melalui Dingin Api.
Pemikiran atau gagasan dalam Maydan Fikra. Perjalanan dan Petualangan
dalam Jelajah. Tulisan dan Coretan tak bertema dalam Konstelasi Nawala.
Jika ada padi di depanmu, apakah lantas kau bisa makan
padi itu? Tentu tidak, padi itu harus di panen dahulu. Setelah itu dipisahkan buah
dari tanamannya, lalu dikeringkan di terik matahari, untuk selanjutnya digiling
menjadi beras dan terpisahlah sekamnya.
Apakah sudah bisa dimakan? Belum. Hendaknya dimasak terlebih
dahulu. Dicuci dengan air, lalu ditanak hingga matang baru boleh kau makan.
Bayangkan saja Coretan dan celotehan di sini layaknya
sebuah padi. Alangkah baiknya jika tidak langsung di makan mentah mentah. Karena
mungkin masih ada sekam atau belum matang sehingga pikiranmu sendiri yang
pandai memilah mana yang baik mana yang buruk. Mana yang mentah dan mana yang
matang. Intinya yang benar di saya belum tentu benar di mata saudara.
Mengambil dari Filosofi Urip iku Urup tadi, semoga
kehadiran Blog ini bisa bermanfaat, paling tidak bermanfaat bagi penulis sendiri.
Hayati oh hidupku.
Hayati oh hidupmu.
Hayati hidupmu!
0 komentar